Jumat, 13 Januari 2012

Status Orang Tua Nabi Muhammad SAW.

Hadis yang terdapat di Shahih Muslim
المعجم المفهرس[1]:
فلما قفّى دعاه فقال إنّ أبي وأباك في النار
م: الإيمان 88
521 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِى؟ قَالَ: «فِى النَّارِ». فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ، فَقَالَ: «إِنَّ أَبِى وَأَبَاكَ فِى النَّارِ».[2]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dari ‘Affan, dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Anas bahwasanya ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Saw. “Wahai Rasulullah Saw! di mana bapakku?”. Kemudian Rasulullah Saw. menjawab, “Di neraka.” “Ketika lelaki tersebut berpaling, Nabi memanggilnya seraya berkata, “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di neraka.” (H.R. Muslim).
  1. 1. Abu Bakr bin Abi Syaibah
Nama lengkapnya adalah Abdillah bin Muhammad bin Abi Syaibah, Ibrahim bin ‘Utsuman bin Khuwasti Al-‘Absy, Budaknya Abu Bakr Al-Hafidz Al-Kufi.
Guru dan muridnya dalam periwayat Hadis. Gurunya adalah Abi Al-Ahwash, Abdullah bin Idris, Ibn Al-Mubarak, Ibn ‘Uyainah, Abi Khalid Al-Ahmar, ‘Affan, Jama’ah, dll. Muridnya adalah Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibn Majah, An-Nasi (meriwayatkan darinya melalui jalur Ahmad bin ‘Ali Al-Qadhi), dll.
Al-‘Ijli berkata: “Beliau adalah seorang yang tsiqah, hafal Hadis.” Abu Hatim dan Ibn Kharsy berkata: “Beliau adalah seorang yang tsiqah.” Ibn Qani’ berkata: “Beliau adalah seorang yang tsiqah tsabat.” Al-Bukhari dan banyak orang berkata: “Beliau wafat pada tahun 235 H, bulan Muharram.[3]
readmore
  1. 2. ‘Affan
Nama lengkapnya adalah ‘Affan bin Muslim bin ‘Abd Allah Ash-Shaffar, Abu ‘Utsman Al-Bashri budaknya ‘Azrah bin Tsabit Al-Anshari. Beliau tinggal di Bagdad.
Guru dan muridnya dalam periwayatan Hadis. Gurunya adalah Abab bin Yazid Al-‘Athathar, Isama’il bin ‘Ulayyah, Al-Aswad bin Syaiban, Hammad bin Yazid, Hammad bin Salamah, dll. Muridnya adalah Al-Bukhari, Abu Bakr ‘Abd Allah bin Muhammad bin Abi Syaibah, dll.
Ahmad bin ‘Abd Allah Al-‘Ijli berkata bahwa ‘Affan bin Muslim orang Bashrah merupakan orang yang tsiqah, tsabat, dan sahib as-Sunnah. Ahmad bin ‘Adi berkata bahwa ‘Affan adalah orang yang asyhar, ashdaq, autsaq.
Mengenai tahun lahir dan wafatnya. Muhammad bin Sa’ad berkata, saya mendengar ‘Affan pada hari kamis tanggal 10 Jumada al-Akhirah tahun 250 H. Beliau berkata: Aku sekarang berumur 76 tahun, agaknya dari perkataan beliau ini beliau lahir pad tahun 134 H. Adapun mengenai wafatnya, Al-Bukhari berkata bahwa beliau wafat pada tahun 220 H. di Bagdad atau sebelumnya. [4]
  1. 3. Hammad bin Salamah
Nama lengkapnya adalah Hammad bin Salamah bin Dinar. Beliau adalah orang Bashrah. Namakunyahnya adalah Abu Salamah bin Abi Sokhroh budak Rabi’ah bin Malik bin Handzalah dari Bani Tamim. Ada yang mengatakan budak Quraisy dll.
Guru dan muridnya dalam periwayatan Hadis. Gurunya adalah Al-Azraq bin Qais, Ishaq bin Suwaid al-‘Adawi, Tsabit Al-Bunani, dll. Muridnya adalah Ibrahim bin Al-Hajjaj as-Sami, Ibrahim bin Abi Suwaid Adz-Dzari’, ‘Affan bin Muslim, ‘Amr bin Khalid al-Harrani, dll.
Ishaq bin Manshur dari Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa Hammad bin Salamah adalah orang yang tsiqah. Ibn Hibban berkata bahwa beliau wafat pada bulan Dzu al-Hijjah tahun 167 H.[5]
  1. 4. Tsabit
Nama lengkapnya adalah Tsabit bin Aslam Al-Banani, nama kunyahnya adalah Abu Muhammad Al-Bashri. Bunanah: adalah nama kabilah yaitu Kabilah Bani Sa’d bin Luay bin Ghalib. Ada lagi yang mengatakan Bani Sa’d bin Dhab’ah bin Nizar, mereka berada di Yamamah.
Guru dan muridnya dalam periwayatan Hadis. Gurunya adalah Ishaq bin ‘Abd Allah bin al-Harits bin Naufal , Anas bin Malik, Bakr bin ‘Abd Allah al-Muzanni, dll. Muridnya adalah Asy’asy bin Bazzar al-Huzaimi, Aghlab bin Tamim asy-Saya’wadzi, Hammad bin Salamah, dll.
Ahmad bin ‘Abd Allah al-‘Ijli berkata bahwa beliau adalah orang tsiqah, dan orang yang shalih. An-Nasa’i berkata bahwa beliau adalah orng yang tsiqah. Abu Ahmad bin ‘Adi berkata bahwa Hammad adalah seorang tabi’ yang tinggal di Bashrah, paling Zuhud di kalangan Bashrah, paling banyak Hadisnya, dan tidak sedikit ulama-ulama tsiqah menuliskan Hadis darinya.
Mengenai wafatnya, Ibn ‘Ulayyah berkata bahwa beliau wafat pada tahun 27 H. pada waktu itu beliau berumur 80 tahun.[6]
  1. 5. Anas
Nama lengkapnya adalah Anas bin Malik bin An-Nadhr bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundab bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Adi bin an-Najjar al-Anshari. Beliau adalah sahabat Rasulullah Saw. dan merupakan pembantunya.
Ibunya adalah Ummu Sulaim bint Milhan bin Kahalid bin Zaid bin Haram. Beliau adalah pembnatu Rasulullah Saw. selama 10 tahun, sejak Rasulullah Saw. di Madinah.
Guru dan muridnya dalam meriwayatkan Hadis. Gurunya adalah Nabi Muhammad Saw., Ubay bin Ka’ab, Usaid bin Hudhair, Tsabit bin Qais bin Syammas, dll. Muridnya adalah Aban bin Shalih, Aban bin Abi ‘Ayyasy, Ibrahim bin Maisarah, Tsabit al-Bunani, dll.
Al-Waqidi dari ‘Abd Allah bin Yazid al-hudzali berkata bahwa beliau wafat pada tahun 92 H. Al-Bukhari mengatakan di dalam kitab Tarikh al-Kabir, Nashr bin ‘Ali berkata kepadku, Nuh bin Qais mengabarkan kepada kami, dari Khalid bin Qais, dari Qatadah: ”Ketika Anas bin Malik wafat, Muwarraq berkata: Pada hari ini setengah ilmu telah hilang. Dikatakan, kenapa demikian hai Aba al-Mu’tamir? Beliau menjawab: Sunggguh orang yang ahli hawa nafs orang yang berbeda dengan Hadis kami. Kami berkata: Sungguh derajatnya tinggi orang yang mendengar langsung dari Rasulullah Saw.[7]
المعجم المفهرس[8]:
فلما قفّى قال إنّ أبي وأباك في النار
د: سنّة 17

4720 - حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِى؟ قَالَ: «أَبُوكَ فِى النَّارِ». فَلَمَّا قَفَّى، قَالَ: «إِنَّ أَبِى وَأَبَاكَ فِى النَّارِ».
Dari Hadis-hadis di atas dapat dibuat bagan sebagaimana terlampir di lampiran, hlm. 1.
Di dalam Mu’jam Al-Mufahras, Hadis ini terdapat di empat jalur sanad, yaitu dalam Shahih Muslim,Kitab al-Iman, Bab Bayan Anna Man Mata ‘Ala al-Kafir Fahuwa Fi an-Nar; Sunan Abu Daud..masing-masing satu jalur. Dan dalam Musnad Ahmad ada dua jalur.
Dalam menanggapi Hadis tersebut, di antara para ulama ada yang menerimanya sebagai sebuah kebenaran tanpa memandang aspek yang lain. Dan ada juga yang menolaknya, dan orang tua Nabi Muhammad Saw. berada di surga.

Berbagai pandangan ulama:
  1. 1. Pendapat para ulama yang menyatakan bahwa orang tua Nabi berada di surga.[9]

  1. Menurut al-Suyuthi di dalam Hadis yng diriwayatkan oleh Muslim di atas terdapat perawi yang masih diperselisihkan hafalannya, serta hadis-hadis yang diriwayatkannya merupakan Hadis-hadismunkar, perawi tersebut yaitu Hammad bin Salamah. Selain itu Hadis tersebut bertentangan dengan Hadis lain yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah dari Hammad bin Salamah yaitu Ma’mar. Dalam redaksi yang diriwayatkan oleh Ma’mar tidak terdapat lafadz yang mengindikasikan bahwa orang tua Nabi Saw. termasuk ahli neraka. Adapun redaksinya adalah sebagai berikut.
إذا مررت بقبر كافر فبشره بالنار

Artinya: “Apabila kamu melewati kuburan orang kafir maka kabarkanlah dengan neraka.”

Al-Suyuthi juga memahami bahwa yang dimaksud dengan lafadz أبي bukanlah makna yang sebenarnya yaitu bapak. Sehungga arti yang dimaksud bukanlah Abdullah bin Abd Al-Muthallib yang merupakan bapak kandung Rasulullah Saw., melainkan yang dimaksud adalah Abu Thalib, paman Rasulullah Saw. hal ini diperkuat dengan sebuah sejarah yang menceritakan bahwa pada suatu saat ketika Abu Thalib bersama Rasulullah Saw. pergi ke Negeri Syam dan ketika di tengah perjalanan bertemu dengan seorang pendeta bernama Buhairo, kemudian pendeta itu menanyakan orang yang bersama Abu Thalib seraya berkata, “Siapa orang ini?” Abu Thalib menjawab, “Dia anakku.” Kemudian pendeta tersebut berkata, “Tidak seharusnya bapak (Abu Thalib) anak ini masih hidup.” Dari kisah ini bisa kita ketahui bahwa penyebutan Abu Thalib sebagai bapak Rasulullah Saw. bukanlah hal yang baru lagi dikalangan masyarakat Arab pada saat itu, karena Abu Thaliblah orang yang mendidik dan mengurus Rasulullah Saw. sejak beliau kecil.

  1. Sebagian ulama mengatakan bahwa Hadis ini telah dinasakh oleh Al-Qur’an, tepatnya Q.S Al-Isra’, ayat 15 yang teksnya sebagai berikut:
3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
Artinya: “Dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul.”

Hal ini seperti perkataan Al-Ghazali yang dikutip oleh Bustamin dalam bukunya yang berjudulMetodologi Kritik Hadis, yaitu:
“Menurut Al-Ghazali,hadis ini bertentangan dengan beberapa ayat Alquran, sebagai berikut:
Ç`¨B3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu (الإسراء: 15)
... uÉZçFÏ9 $YBöqs% !$¨B Nßg9s?r& `ÏiB 9ɯR `ÏiB y7Î=ö6s% öNßg¯=yès9 crßtGöku (السجدة: 3)

Ayah dan Ibu Nabi Muhammad Saw. hidup pada masa fitrah. Waktu itu belum ada utusan pemberi peringatan (nazir) dan mereka belum mengetahui akan adanya pemberi peringatan tersebut. Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa mereka yang hidup pada masa fitrah, tidak terkena siksaan. Oleh karena itu, Hadis-hadis tentang keberadaan orang tua Nabi Saw. di neraka itu syadz, karena bertentangan dengan keterangan Alquran.[10]
  1. Sebagian ahli Hadis mengatakan bahwasanya Allah telah menghidupkan kembali kedua orang tua Rasulullah Saw., sehingga keduanya beriman kepada Rasulullah Saw. Pendapat ini diikuti oleh banyak ulama Hadis dan lainnya. Diantaranya Ibn Syahin, Abu Bakr Al-Kahtib Al-Baghdadi, As-Suhaili, Al-Qurthubi, Al-Muhib Al-Thabari, Nasir Al-Din Ibn Munir, dan ulama-ulama lainnya. Namun Hadis ini adalah Hadis dha’if sebagaimana yang disepakati para ahli Hadis. Tetapi argument dengan Hadis ini tidaklah kuat. Al-Suyuthi sendiri tidak berpijak dengan Hadis tersebut, walaupun ia telah mengoleksi Hadis tersebut. Tetapi ia menegaskan bahwa secara hukum ‘aqli, mukjizat Nabi Muhammad Saw. lebih besar dan hebat dari para Nabi terdahulu. Oleh karena itu, ungkap Al-Suyuthi, seandainya ada Nabi terdahulu yang bias menghidupkan orang mati, tentu Nabi Muhammad Saw. lebih utama mendapatkan mu’jizat itu semua untuk mengislamkan kedua orang tuanya. Dan masih banyak tanggapan ulama mengenai orang tua nabi ada di surga yang telah peneliti temukan.

  1. 2. Pendapat para ulama yang menyatakan bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad Saw. di neraka.

Al-‘Adzim Abadi pensyarah kitab Sunan Abu Daud menyatakan bahwa Hadis-hadis yang menyatakan dihidupkannya kembali kedua orang tua Nabi Muhammad Saw. -seperti yang telah dijelaskan di atas- adalah hadis yang bohong, dibuat-buat, dan palsu sebagaimana disepakati ulama-ulama Hadis. Selain itu, Abadi juga mengkritik Al-Suyuthi yang menyatakan kedua orng tua Nabi Muhammad Saw. tergolong orang-orang yang selamat dan tidak di neraka. Menurut Abadi, pendapat Al-Suyuthi telah menyalahi pendapat yang diyakini oleh para ulama hadis yang terpercaya. Dan juga Al-Suyuthi terlalu mempermudah permasalahan dengan pendapatnya tersebut, sehingga tidak perlu dianggap pendapatnya itu dan tidak bias dijadikan rujukan.[11]

Dalam menanggapi perbedaan pendapat sangat diperlukan ketelitian yang luar biasa. Ini dikarenakan faktor yang menjadi permasalahan adalah penukilan terhadap Hadis, naskah dan interpretasi terhadap dalil-dalilyang ada. Namun penulis akan mencoba untuk menjelaskan secara sederhana.

Hadis ini dipilih oleh penulis karena menggelitikkan penulis dan juga permasalahan ini sangat menarik. Karena permasalahan ini merupakan objek pembahasan Ahl al-Kalam sejak masa lampau maka penulis mengutip dari Mulla ‘Ali al-Qari di dalam kitabnya Adillah Mu’taqad yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah. Mulla mengklaim bahwa Abu Hanifah mengungkapkan bahwa mengenai kematian orang tua Nabi Muhammad Saw. adalah dalam kekafiran di dalam kitab Al-Fiqh al-Akbar. Bahkan, Mulla mengambil sikap lebih jauh lagi dengan menganalisir hadis tersebut sebagai ijma’ (consensus para Ulama). Ia mengkritik Al-Suyuthi yang sebelumnya pernah mengumpulkan Hadis-hadis mengenai keimanan orang tua Nabi Muhammad Saw.
Pendapat Mulla ‘Ali ini dikarenakan ia menemukan manuskrip kitab Al-fiqh al-Akbar karya Imam Abu Hanifah di samping berpegang dengan Hadis riwayat Muslim di atas. Teks tersebut dinukilkannya kembali dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar. Teks yang dia kemukakan sebagai berikut:

ووالدا رسول الله –صلّى الله عليه وسلّم ماتاعلى الكفر.

Artinya: “Dan kedua orang tua Rasulullah Saw. meninggal dalam kekafiran.”[12]

Namun demikian, penukilan ini banyak dikritisi oleh para ulama. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Bayjuri dalam kitab Tuhfah al-Murid dan Syarh al-‘Aqidah al-Sanusiyah. Ia menegaskan bahwa Mulla ‘Ali keliru dalam melakukan penukilan terhadap teks yang telah disisipi (madsus). Ini dikarenakan penyisipan terhadap beberapa manuskrip sempat menggemparkan dunia intelektual Muslim pada masa lalu.
Selain itu, Sayyid Muhammad bin ‘Alawi juga melontarkan kritikan tajam terhadap Mulla ‘Ali sebagaimana diungkapkan dalam kitab Al-Dhaka’ir al-Muhammadiyyah . ia menyebutkan bahwa dirinya pernah melihat naskah Al-Fiqh al-Akbar Imam Abu Hanifah di Perpustakaan Syaikh al-Islam ketika berada di Madinah pada tahun 1354 H. setahun sebelum kitab Al-Dzaka’ir ditulis. Naskah tersebut telah ditulis semenjak masa Dinasti Abbasiyah. Adapun teks yang tertulis dalam naskah tersebut adalah sebagai berikut:

ووالدا رسول الله –صلّى الله عليه وسلّم ماتاعلى الفطرة وأبو طالب مات على كافرا.

Artinya: “Dan kedua orang tua Rasulullah Saw. meninggal dalam keadaan fithrah, sedangkan Abu Thalib meninggal dalam kekafiran.”

Dengan melakukan komparasi dengan naskah lain, Sayyid Muhammad ‘Alawi mencurigai bahwa terjadi kekeliruan (tashhif) teks.[13] Disamping itu, penulis menemukan dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbaroleh salah seorang ulama Turki yang menyebutkan kekeliruan Mulla ‘Ali dalam penukilan. Ini karena naskah lain yang ditemukan dengan kalimat berikut:

ووالدا رسول الله –صلّى الله عليه وسلّم ما ماتاعلى الكفر.

Artinya: “Dan kedua orang tua Rasulullah Saw. tidaklah meninggal dalam kekafiran.”

Naskah tersebut tentu lebih dekat kepada kebenaran karena kekeliruan para penukil pada masa-masa sebelumnya walaupun hanya satu kata dengan dua huruf, seperti tidak menulis kata ما karena berdampingan dengan kata ماتا yang juga mempunyai huruf mim dan alif . Penambahan kata maa yang mengindikasikan penafian, sehingga berarti “…tidaklah meninggal dalam kekafiran”.
Disamping itu, terdapat penemuan yang menarik oleh Sayyid Muhammad mengenai pendirian Mulla ‘Ali. Ternyata Mulla juga kembali menarik pendapatnya ketika menulis kitab Syarh Syifa’ Qadhi ‘Iyadh. Mulla menegaskan, sebagimana dinukil Sayyid Muhammad, bahwa pendapat mengenai keislaman kedua orang tua Nabi Muhammad Saw. merupakan pendapat yang lebih kuat. Mulla berbalik dari mengkritik Al-Suyuthi dengan kembali menyetujui pendapatnya, “Dan yang lebih shahih adalah pendapat mengenai keislaman kedua orang tua Nabi Mauhammad Saw. sebagaimana disepakati oleh mayoritas ulama sesuai dengan penjelasan Al-Suyuthi dalam Rasa’il.”[14]

Dengan demikian, sangat jelas bahwa sikap Mulla yang mempopulerkan pendapat bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad Saw. di neraka menjadi tidak kuat, karena terbukti terjadi kesalahan dalam penukilan naskah.
Akan tetapi, tentu pembaca akan bertanya bagaimana dengan Hadis riwayat Muslim di atas? Bukankah disebutkan dengan jelas bahwa orang tua Nabi Muhammad Saw. berada di Neraka? Dalam hal ini, Al-Nawawi menjelaskan di dalm Syarah Muslim bahwa memang benar penyembah berhala yang meninggal di zaman fatrah akan masuk neraka jika dakwah kenabian Ibrahim telah sampai kepada mereka. Tetapi, lanjutnya, demikian itu tidak berlaku terhadap orang yang tidak kedatangan dakwah. Adapun sabda Nabi Muhammad Saw. di atas menurut An-Nawawi, merupakan ungkapan yang bermaksud tasliyah(menghibur) sebagai salah satu etika beliu yang mulia. Ini dikarenakan orang yang datang tersebut menjadi bersedih ketika disebutkan bahwa bapaknya di dalam neraka. Oleh karena itu Nabi Saw. menghibur orang tersebut dengan mengikutsertakan orang tuanya.[15]
Selain itu, dari sudut ppandang Ilmu Usul Fiqh ketika terjadi kontradiksi pada dua teks atau lebih secara zahir, maka akan ditempuh metode jalmak dan tarjih yang berarti menguatkan salah satu dalil tersebut jika terdapat qarinah (indikasi lain) yang menguatkannya. Para ulama seperti Al-Suyuthi, Al-Bayjuri, Sayyid Muhammad dan lainnya dan lainnya mengungkapkan bahwa berargumen dengan Hadis Muslim dalam konteks ini tidaklah kuat, karena periwayatan tersebut walaupun termasuk kategori shahih, tetapi secara penukilan masih tergolong hadis Ahad, atau lebih spesifik lagi Hadis tersebut tergolong gharib (riwayat satu orang). Setelah penulis komparasikan ternyata para Imam Hadis seperti Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan al-Bayhaqi memang hanya melalui jalur Hammad dari Tsabit dari Anas bin Malik r.a Hadis ini tidak diriwayatkan dengan jalur selain mereka.
Dengan demikian, ketika terjadi kontradiksi antara riwayat Mutawatir dan Ahad, maka yang dikuatkan adalah Mutawatir. Ini dikarenakan periwayatan Mutawatir dinukilakan melalui orang banyak yang mustahil terjadi manipulasi terhadap informasi yang disampaikan. Dalam hal ini, Hadis Muslim tersebut kontradiksi dengan teks Al-Qur’an yang diriwayatkan dengan Mutawatir. Oleh karena itu, pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat mayoritas bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad Saw. masih tergolong ahli fatrah berdasarkan ayat Al-Qur’an di atas, sehingga mereka bukanlah termasuk penghuni neraka. Namun, seandainya terdapat keberatan untuk menerima pendapat ini, maka menyebut-menyebut perihal negatif mengenai kedua orang tua Nabi Muhammad Saw. masih tergolong menyakitkan perasaan beliau. Jadi, Hadis Muslim di atas shahih sanadnya syadz matannya. Wa Allah A’lam.
[1] A, Y, Winsink, Al- Mu’jam Al-Mufahras, (Leden: Bril, 1943),Jilid 2, hlm. 129.

[2] Abu Al-Husain Muslim Ibn Hajjaj, Shahih Muslim, Bab Anna Man Mata ‘Ala al-Kufr Fahuwa Fi An-Nar, no. 521.

[3] Syihabuddin Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Tahdzib At-Tahdzib, (t.k: Dar Al-Fikr, 1415 H = 1995 M), cet I, jilid 4, hlm. 464-466.

[4] Jamaluddin Abi Al-Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1414 H = 1994 M), Jilid 13, hlm. 100-108.

[5] Jamaluddin Abi Al-Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, Jilid 5, hlm. 175-185.

[6] Jamaluddin Abi Al-Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, Jilid 3, hlm. 223-227.

[7] Jamaluddin Abi Al-Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, Jilid 2, hlm. 330-345.

[8] A, Y, Winsink, Al- Mu’jam Al-Mufahras, (Leden: Bril, 1943), Jilid 5, hlm. 447.

[9] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Hawi al-Fatawa, (Jakarta: Dar al-Kutub,tt), hlm. 189-218

[10] Bustamin, M.Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet 1, hlm.136-137. Mengutip dari Muhammad Al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1996, cet. Ke 11, hlm. 144-145.

[11] Al-‘Adzim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud, Bab Dzarariy al-Musyrikin.

[12] Mulla ‘Ali, Syarh al-Fiqh al-Akbar, (ttm: tp, tt), hlm. 103.

[13] Sayyid Muhammad bin ‘Alawi, Al-Dzakha’ir al-Muhammadiyah, (ttm:tp, tt), hlm. 34.

[14] Mulla ‘Ali, Syarah Syifa’ Li Qadhi ‘Iyadh, (ttm: tp, tt), hlm. 601.

[15] Al-Nawawi, Syarah Muslim, no. Hadis 302.

Tidak ada komentar:

selamat datang di komunitas pesantren